Halaman 1
Di sebuah sudut taman yang tersembunyi, terpancarlah permata air bernama Kolam Bening. Permukaannya bagaikan cermin raksasa yang memantulkan senyum Bunda Matahari di pagi hari dan lukisan awan putih yang berlayar pelan. Di bawah permukaannya yang tenang, terbentang sebuah dunia yang ramai dan penuh kehidupan. Ada tanaman air berjajar seperti pepohonan mini di hutan, dengan batangnya yang ramping dan daunnya yang hijau segar. Ada batu-batu licin berwarna abu-abu yang menjadi tempat istirahat, dan sinar matahari menembus air, menari-nari membentuk pola cahaya keemasan yang memesona.
Di antara akar-akar tanaman air yang lembut itulah, keluarga telur katak tinggal. Mereka bukan telur biasa yang berbentuk bulat dan berkulit keras. Mereka adalah gumpalan-gumpalan bening yang transparan seperti jelly terbaik, berkilauan bak mutiara cair ketika cahaya menyentuhnya. Setiap gumpalan itu adalah rumah yang kenyal dan lembut, melindungi sesuatu yang sangat berharga di dalamnya.
Dan di pusat salah satu gumpalan bening yang paling indah itulah, hiduplah seorang calon katak bernama Koko. Bersama ratusan saudaranya, Koko mengapung dengan lembut, digoyang oleh aliran air yang menenangkan. Dari balik "dinding" beningnya, Koko bisa menyaksikan seluruh dunia kolam. Ia melihat si ikan berenang gesit, si keong menjalar pelan, dan gelembung-gelembung udara yang naik ke permukaan seperti balon-balon perak.
Koko merasa bahagia. Ia merasa aman dalam selubung beningnya. Setiap pagi, ia adalah yang pertama merasakan hangatnya pelukan Bunda Matahari yang menembus air dan "selimut" beningnya, menghangatkan tubuh mungilnya yang berwarna hitam pekat. Pada saat-saat itu, Koko merasa dirinya adalah bagian yang sempurna dari keajaiban Kolam Bening. Ia belum tahu, bahwa bentuknya yang unik akan segera memicu sebuah pertanyaan besar, sebuah petualangan kecil, dan pelajaran yang paling berharga dalam hidupnya.
Halaman 2
Suatu pagi, ketika Koko sedang asyik memperhatikan segerombolan anak ikan berenang berbaris rapi, seekor ikan kecil berwarna perak bernama Iki menyimpang dari kelompoknya dan mendekati Koko. Mata Iki yang bulat itu berbinar penuh rasa ingin tahu.
"Hai, Koko! Selamat pagi!" sapa Iki dengan suara riangnya yang bergelembung. "Aku selalu suka berenang melewati tempat tinggalmu. Kalian seperti dekorasi mutiara hidup yang menghiasi kolam kita."
"Hei, Iki! Selamat pagi juga," balas Koko yang merasa senang dikunjungi temannya yang gesit itu. "Ya, kami senang bisa membuat kolam ini semakin cantik."
Iki berenang lebih dekat, hampir menempel pada gumpalan bening itu. Kepalanya miring. "Tapi, Koko... boleh aku bertanya sesuatu? Sesuatu yang sudah lama membuatku penasaran."
"Tentu saja boleh," kata Koko. "Apa itu?"
"Aku perhatikan, kalian, para telur katak, sangatlah berbeda dari kami," kata Iki dengan suara polos khas anak kecil. "Dulu, sebelum menetas, aku dan semua saudaraku juga tinggal di dalam telur. Tapi, telur kami keras, bulat sempurna, dan kita tidak bisa melihat isi di dalamnya sama sekali. Kalian... kalian justru sebaliknya. Bening di luar, sehingga semua bisa melihat isi kalian yang berwarna hitam pekat. Kenapa bisa begitu, ya? Kenapa kalian tidak memiliki cangkang yang keras seperti kami dulu?"
Halaman 3
Kata-kata Iki yang polos itu menggantung di air, seakan membeku untuk sesaat. Untuk pertama kalinya, Koko benar-benar memandang dirinya sendiri. Ia melihat teman-temannya di gumpalan lain, semua sama: titik-titik hitam dalam balutan bening. Ia lalu melihat Iki, yang tubuhnya mungil, padat, dan berkilau sempurna.
Tiba-tiba, sebuah perasaan anah mulai menggeliat di dalam "diri" Koko. Perasaan nyaman dan hangat yang biasa ia rasakan seakan menguap, digantikan oleh gelembung-gelembung dingin keraguan dan kebingungan.
"Iya, ya..." gumam Koko pelan, hampir seperti desahan gelembung. "Iki berkata benar. Mengapa kita seperti ini? Mengapa kita tidak memiliki rumah yang kokoh dan tertutup? Mengapa kita harus terlihat begitu... berbeda?"
Perasaan percaya dirinya, yang tadi pagi masih begitu kuat, kini mulai retak. Ia merasa telanjang dan aneh di mata semua penghuni kolam. Setiap sorotan mata yang lewat seakan menatap keunikan bentuknya dengan heran. Koko menarik "diri"-nya lebih ke dalam gumpalan, berusaha menyembunyikan titik hitamnya, merasa bahwa warna itulah yang membuatnya tampak tidak biasa.
"Aku... aku tidak tahu jawabannya, Iki," akhirnya Koko berkata dengan suara kecil yang sedih. "Aku tidak tahu mengapa aku terlihat seperti ini."
Kegelisahan Koko bagaikan riak kecil yang mulai menyebar di permukaan kolam jiwanya yang tenang.
Halaman 4
Kakak Bero, seekor berudu yang lebih tua dan bijaksana, kebetulan berenang melintas. Ia mendengar gumaman sedih Koko dan melihat raut "wajah" Iki yang bersalah.
"Hei, adik-adik kecil," sapa Kakak Bero dengan suaranya yang tenang. "Aku dengar ada pertanyaan sulit nih yang bikin sedih."
"Iya, Kak," kata Koko dengan lesu. "Aku ingin tahu mengapa kami terlihat berbeda. Mengapa kami hitam dan bening, bukan keras seperti telur lainnya?"
Kakak Bero tersenyum. "Pertanyaan yang hebat! Tapi jangan khawatir. Perbedaan bukanlah sesuatu yang harus disesali. Setiap ciptaan memiliki caranya sendiri yang istimewa. Daripada bersedih, mari kita temui Bunda Matahari! Dialah yang paling mengerti rahasia alam di kolam ini."
Mata Koko berbinar sedikit. "Benarkah? Bunda Matahari tahu rahasia kami?"
"Tentu saja," kata Kakak Bero. "Dialah yang memberi kita kehangatan dan kehidupan. Ayo, ikut aku!"
Halaman 5
Dengan semangat baru, Koko, Iki, dan Kakak Bero berenang mendekati permukaan kolam. Di sana, cahaya keemasan Bunda Matahari terasa begitu hangat dan menenangkan.
"Bunda Matahari," panggil Kakak Bero dengan hormat. "Kami punya pertanyaan penting. Bisakah Bunda menjelaskan mengapa telur-telur katak seperti Koko terlihat begitu unik?"
Sinar Bunda Matahari seakan menjadi lebih lembut dan penuh kasih, menyelimuti Koko dengan hangat.
"Anakku yang cantik," bisik Bunda Matahari dengan suara yang terasa seperti embun hangat. "Bentukmu adalah hadiah dan perlindungan. Lapisan bening di luar adalah 'selimut pelindungmu'. Ia melindungimu dari dinginnya malam dan luka-luka, sambil membiarkan kehangatanku masuk dengan mudah."
Koko terkesima. Ia tak pernah menyangka bahwa tubuh beningnya adalah sebuah pelindung.
Halaman 6
"Lalu, mengapa aku hitam di dalam, Bunda?" tanya Koko penuh harap.
"Itulah bagian yang paling istimewa," jawab Bunda Matahari. "Warna hitam pekat di dalam tubuhmu adalah 'konsentrasi kehidupan'. Warnanya yang gelap membantumu menyerap kehangatanku seperti magnet, sehingga kamu bisa tumbuh dengan kuat dan cepat! Bayangkan, tanpa warna hitam itu, kamu akan tetap kecil dan lemah untuk waktu yang lama. Tapi dengan warnanya yang istimewa, kamu akan segera menjadi berudu yang lincah!"
Koko hampir tidak percaya. Titik hitam yang selama ini membuatnya malu ternyata adalah sumber kekuatannya!
"Jadi, ini bukan cacat?" tanya Koko lagi.
"Bukan, sayang," jawab Bunda Matahari. "Ini adalah rancangan sempurna. Kamu berbeda karena kamu istimewa. Kamu unik karena memiliki tujuan. Sekarang, apakah kamu masih malu dengan warnamu yang hitam pekat?"
Halaman 7
Perasaan Koko berubah total! Gelembung-gelembung sedihnya digantikan oleh gelembung-gelembung sukacita. Ia kini memandang titik hitamnya dengan bangga. Itu bukan aib, melainkan magnet kehangatan! Itu bukan kegelapan, melainkan konsentrasi kehidupan!
"Terima kasih, Bunda Matahari! Terima kasih, Kakak Bero!" seru Koko gembira. "Dan terima kasih untukmu, Iki! Jika kamu tidak bertanya, aku mungkin tidak akan pernah tahu betapa istimewanya diriku!"
Iki tersenyum lega. "Artinya, kita semua istimewa dengan caranya masing-masing, ya?"
"Tepat sekali!" sahut Koko dengan percaya diri yang baru. "Kita tidak perlu menjadi sama untuk menjadi bahagia. Keunikan kitalah yang membuat kita kuat."
Koko pun berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pernah meragukan keistimewaannya lagi. Ia kini adalah telur katak yang bangga akan titik-titik hitamnya, yang percaya diri menanti hari ketika ia akan berubah menjadi berudu yang lincah, berkat "magnet kehangatan" yang dimilikinya.
Tamat