Rutinitas Momong Adam (Versi Panjang)
Hari-hari ayah di rumah hampir selalu ditemani Adam. Bocah kecil itu seperti matahari pagi yang baru terbit—hangat sekaligus tak kenal lelah. Begitu membuka mata, Adam langsung memulai petualangannya. Tidak ada waktu untuk duduk diam. Kakinya yang kecil bergerak tanpa henti, dari kamar ke ruang tamu, dari ruang tamu ke dapur, lalu tiba-tiba sudah muncul lagi di halaman.
Ayah mengikuti di belakang, bukan karena ingin, tapi karena harus. Mata anak kecil itu selalu menemukan sesuatu yang baru untuk dieksplorasi. Kadang dia menyeret mobil-mobilan di lantai, suaranya berderak di keramik. Kadang dia mengangkat sandal kiri dan kanan yang berbeda, berjalan dengan bangga seakan sedang memakai sepatu mahal. Kadang pula dia datang dari luar membawa daun bayam atau ranting kecil dari kebun, lalu meletakkannya di meja seolah itu hadiah penting.
Bagi Adam, rumah bukan sekadar tempat tinggal. Baginya, setiap sudut adalah arena bermain. Kursi bisa jadi benteng, meja bisa jadi gunung, tirai bisa jadi pintu rahasia. Ayah tidak pernah bisa memprediksi apa yang akan terjadi selanjutnya. Tugas utama ayah adalah memastikan semua itu tidak berubah menjadi bencana kecil.
Ketika Adam sibuk, ayah mencoba membuka HP. Ada pesan masuk dari pembeli, ada pesanan songkok yang harus dicek, ada mitra produksi yang menunggu kabar. Jari ayah bergerak cepat di layar, mengetik secepat mungkin, seolah sedang lomba melawan waktu. Karena ayah tahu, Adam tidak pernah memberi banyak kesempatan. Satu menit ayah menunduk ke layar, menit berikutnya Adam sudah bisa saja berdiri di kursi, meraih benda tajam, atau membongkar isi lemari.
Rutinitas momong Adam seperti ombak yang datang bergelombang. Ada saatnya riuh—ketika dia berlari sambil menjerit kegirangan, menjatuhkan mainan satu per satu di lantai, atau ketika dia tiba-tiba menangis karena sesuatu yang bahkan dia sendiri tidak bisa jelaskan. Tapi ada juga saat-saat tenang—ketika Adam duduk menggambar dengan krayon seadanya, coretannya tidak jelas tapi matanya serius. Atau saat dia tertidur siang, tubuhnya meringkuk, keringatnya menempel di bantal, tangannya masih menggenggam mobil mainan yang tak sempat ia lepaskan.
Di waktu seperti itu, ayah merasa mendapatkan hadiah. Hadiah kecil berupa ketenangan. Kesempatan sebentar untuk kembali menulis pesan di HP, menata pikiran, atau sekadar meneguk kopi yang sudah dingin. Tapi ayah tahu, hadiah itu tidak akan bertahan lama. Begitu Adam bangun, semua kembali berulang.
Ada kalanya Adam tidak puas dengan mainannya sendiri. Dia mencari cara baru untuk menguji kesabaran. Dia memanjat kursi, menggapai meja, menarik taplak hingga hampir semua barang di atasnya jatuh. Ada juga saat dia membuka lemari pakaian, menarik baju satu per satu sampai menumpuk di lantai. Ayah harus cepat merapikan, meski tahu bahwa besok pagi mungkin akan terulang lagi.
Rutinitas ini membuat ayah lelah. Lelah fisik, karena badan harus selalu sigap bergerak. Lelah pikiran, karena pekerjaan online sering tertunda. Tapi di balik lelah itu, ada rasa hangat yang sulit dijelaskan. Karena meskipun Adam sering merepotkan, senyumnya bisa menghapus amarah. Gelaknya bisa membuat ayah lupa sebentar pada hutang dan kekhawatiran. Bahkan tangisnya sekalipun mengingatkan ayah bahwa anak kecil hanya ingin diperhatikan, ingin dipeluk, ingin ditemani.
Hari-hari bersama Adam adalah pengingat bahwa menjadi orang tua bukan hanya soal mencari uang. Menjadi orang tua juga berarti siap mengorbankan waktu, siap menunda pekerjaan, dan siap belajar sabar berkali-kali. Adam mungkin belum mengerti itu semua, tapi dari dirinya, ayah belajar pelajaran yang tidak bisa dibeli dengan uang: bahwa anak-anak butuh ayah yang hadir, bukan hanya ayah yang sibuk.
Kebun dan Ayam di Samping Rumah
Di samping rumah, ayah punya kebun kecil. Bukan kebun luas seperti di televisi, tapi tanah sederhana yang ayah rawat sedikit demi sedikit. Di sana tumbuh bayam, kangkung, terong, cabe, dan semangka. Tanaman-tanaman itu mungkin terlihat biasa, tapi bagi ayah setiap helai daun adalah hasil dari perhatian dan kesabaran.
Pagi hari, embun masih menempel di ujung daun bayam. Cahaya matahari membuatnya berkilau seakan butir kristal. Kangkung tumbuh memanjang, batangnya hijau segar. Terong masih kecil, sebagian masih bersembunyi di balik daunnya yang lebar. Cabe terlihat berderet, ada yang masih hijau, ada juga yang mulai memerah. Semangka kecil terbaring di tanah, kulitnya bergaris, belum siap dipetik. Semua tanaman itu menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, sumber sayur yang bisa langsung diolah untuk makan keluarga.
Kebun itu sering jadi tempat Adam berlari-lari. Kakinya menjejak tanah, jarinya menyentuh daun, kadang dia tanpa sengaja merusak tunas kecil yang baru tumbuh. Ayah sering harus membersihkan bekas langkahnya, menata kembali batang yang miring, dan menghela napas panjang. Tapi justru dari kebun ini ayah belajar bahwa merawat sesuatu membutuhkan kesabaran ekstra. Tidak semua usaha langsung terlihat hasilnya. Butuh waktu, butuh perawatan, dan butuh keikhlasan.
Tidak jauh dari kebun, ada kandang ayam sederhana. Di dalamnya ada dua penghuni: seekor jantan bernama Dino dan seekor betina bernama Dina. Dino gagah dengan suaranya yang lantang, selalu berkokok keras seakan ingin memberi tahu dunia bahwa dia pemilik halaman. Dina sebaliknya, tenang dan tekun. Saat ini dia sedang mengerami telurnya. Dari sembilan belas butir telur yang dia hasilkan, hanya lima belas yang ayah biarkan di bawah tubuhnya.
Setiap hari, Dina tetap duduk di sarang. Sayapnya menutupi telur-telur, matanya awas, tubuhnya hangat menjaga kehidupan yang belum lahir. Dia hampir tidak pernah meninggalkan sarang, hanya sesekali berdiri untuk makan dan minum, lalu kembali lagi. Dari seekor ayam sederhana, ayah melihat contoh kesetiaan dan kesabaran yang luar biasa.
Kebun dan ayam ini mungkin terlihat kecil bagi orang lain. Namun bagi keluarga kita, mereka adalah simbol kehidupan. Tanaman memberi sayur untuk makan sehari-hari. Ayam memberi pelajaran tentang ketekunan. Semuanya mengajarkan bahwa kehidupan nyata selalu membutuhkan perhatian dan tanggung jawab.
Ayah sering merasa, kebun dan ayam jauh lebih jujur daripada layar HP. Tanaman tidak pernah menipu: kalau dirawat, mereka tumbuh subur; kalau diabaikan, mereka layu. Ayam juga tidak pernah berpura-pura: kalau lapar, ia mencari makan; kalau waktunya mengeram, ia fokus menjaga telurnya. Dari semua itu, ayah belajar kembali arti sederhana dari hidup: bekerja dengan tenang, sabar menunggu hasil, dan merawat apa yang ada di depan mata.
Membagi Waktu Antara Kerja dan Main dengan Adam
Rutinitas ayah setiap hari bukan hanya soal kebun atau ayam, tapi juga soal dua dunia yang harus berjalan bersamaan. Di satu sisi ada pekerjaan online, di sisi lain ada Adam yang selalu menuntut perhatian penuh. Dua-duanya penting, dua-duanya mendesak, dan sering kali bentrok dalam waktu yang sama.
Ketika pesan masuk di HP, ayah tahu itu bisa jadi pesanan songkok, kabar dari mitra, atau sekadar pertanyaan calon pembeli. Semua harus segera dibalas. Dalam dunia jualan online, kecepatan menjawab sering jadi penentu jadi tidaknya transaksi. Namun begitu tangan ayah menyentuh layar, dunia Adam langsung bereaksi. Ada suara kecil yang memanggil, ada tangan mungil yang menarik baju, ada langkah kaki yang berlari ke arah ayah, meminta perhatian lebih.
Kadang ayah mencoba menunda balasan, memutuskan untuk menemani Adam dulu. Mengajaknya main di ruang tamu, menonton tingkah lucunya, atau sekadar duduk mengawasi ketika dia sibuk dengan mainan. Di saat seperti itu, ayah merasa pekerjaan bisa menunggu, tapi kebahagiaan anak tidak bisa ditunda.
Namun ada juga waktu di mana ayah harus memilih sebaliknya. Ketika pesanan mendesak, ketika ada calon pembeli yang menunggu harga, atau ketika mitra produksi bertanya soal pengiriman. Saat itu ayah harus memegang HP lebih lama. Adam mungkin terlihat kecewa, kadang marah kecil, kadang memilih membuat keributan. Ayah tetap berusaha menenangkan, meskipun hati sering terbelah antara tanggung jawab pada pekerjaan dan tanggung jawab pada anak.
Inilah keseharian ayah: menulis dengan cepat di layar sambil mengawasi Adam berlari. Mengetik pesan sambil telinga tetap awas mendengar apakah dia aman. Memegang HP dengan satu tangan, sementara tangan lain siap menahan kalau Adam tiba-tiba memanjat kursi atau membuka lemari.
Setiap hari seperti menyeimbangkan timbangan yang rapuh. Di satu sisi ada harapan untuk terus bertahan hidup melalui penjualan, di sisi lain ada kewajiban untuk hadir sebagai orang tua. Tidak ada jadwal pasti, tidak ada jam kerja tetap, karena Adam bisa datang kapan saja, dengan permintaan yang tidak bisa ditolak.
Meski melelahkan, ada kepuasan tersendiri. Ayah merasa sedang belajar menjadi manusia yang lebih sabar, lebih fleksibel, dan lebih rela berkorban. Karena pada akhirnya, pekerjaan bisa dikejar kembali, tapi masa kecil Adam hanya sekali. Dan tugas ayah adalah memastikan masa kecil itu tetap dipenuhi dengan kebahagiaan, meskipun harus membagi waktu di tengah keterbatasan.
Pesan Moral – Dunia Nyata Lebih Hidup
Di rumah, ayah sering berada di dua dunia sekaligus. Ada dunia layar di genggaman—pesanan songkok, obrolan mitra, calon pembeli yang menunggu. Dan ada dunia nyata di depan mata—Adam dengan mobil-mobilannya, kebun kecil yang tumbuh pelan, ayam jantan yang berkokok, dan Dina yang sabar mengerami telurnya.
Kalau ayah terlalu lama menunduk ke layar, dunia nyata mulai hilang suaranya. Adam merasa kesepian, semangka di kebun terinjak kakinya, suara ayam hanya lewat begitu saja. Tapi ketika HP ditaruh, dunia nyata kembali ramai. Adam tertawa, daun bayam melambai, Dino berkokok keras, dan Dina tetap setia menghangatkan telurnya.
Banyak anak sekarang hanya hidup di satu dunia: dunia layar. Mereka pandai menekan tombol, jago main game, hafal lagu-lagu dari YouTube. Tapi ketika harus memperkenalkan diri di kelas, suara mereka hilang. Ketika guru bertanya, mereka diam. Ketika teman mengajak bicara, mereka bingung harus berkata apa.
Padahal ada anak-anak yang berani melawan rasa takutnya. Ada yang tampil bernyanyi di panggung walau masih kecil. Ada yang bikin video sederhana di rumah, lalu bisa berbicara dengan jelas di depan kamera. Mereka belajar percaya diri, bukan dari layar, tapi dari keberanian membuka mulut dan menatap orang lain.
Kebun di samping rumah memberi contoh sederhana. Bayam dan kangkung tidak tumbuh dengan instan, mereka butuh tanah, air, dan cahaya matahari. Semangka kecil tidak bisa langsung besar, ia butuh waktu dan kesabaran. Sama seperti Dina, induk ayam yang betah duduk berhari-hari hanya untuk memastikan telur-telurnya menetas dengan selamat. Semuanya nyata, semuanya membutuhkan perhatian yang konsisten.
Begitu juga dengan keberanian dan pertemanan. Mereka tidak datang dari tombol di layar, melainkan dari tatapan mata, senyum, dan suara. Anak yang berani berbicara pada guru, yang bisa bermain bersama teman tanpa malu, akan tumbuh lebih kuat daripada anak yang hanya berani di balik layar.
Karena itu, ayah ingin dunia nyata di rumah ini tetap hidup. Dunia di mana Adam bisa tertawa, kebun bisa tumbuh, ayam bisa berkokok, dan Kakak bisa belajar jadi pribadi yang hangat, berani, dan percaya diri di hadapan siapa pun. Dunia layar boleh ada, tapi jangan sampai mengalahkan dunia nyata yang jauh lebih berharga.