Malam 1 – Ayah dan Kopi Pagi
Pagi di rumah kita biasanya sederhana. Bukan dengan suara mesin mobil menderu atau bel rumah yang mewah, tapi suara ayam tetangga, suara panci mbah yang ditaruh agak keras di dapur, dan… suara ayah mengaduk kopi.
“Kriing… kring… kring…” sendok beradu sama gelas. Kopi hitam panas mengepul, aromanya khas—sedikit pahit, sedikit asam, tapi bagi ayah itu wangi semangat. Ayah duduk di kursi kayu, kursinya sudah agak miring, jadi setiap ayah geser pantat sedikit, bunyinya kriet-kriet.
Sebelum kopi habis, biasanya sudah ada kejutan. Kadang Adam bangun duluan, rambutnya masih acak-acakan, matanya sepet kayak mata kucing baru melek. Dia langsung loncat ke pangkuan ayah, bikin kopi hampir tumpah.
“Ayah, gendong!” katanya.
Ayah cuma bisa ketawa, “Walah, kopiku belum habis, Nak. Kamu kalah sama kopi nih.”
Sementara itu, Pouri… ah, itu cerita lain. Kadang masih molor, nyelimutin diri kayak kepompong. Kalau ayah manggil, “Pouriii… bangun, Nak,” biasanya jawabannya hanya gumaman, “Sebentaaarr…” atau malah pura-pura nggak dengar. Ayah geleng-geleng sambil menyeruput kopi lagi.
Sebenarnya, di balik tiap tegukan kopi itu, ada banyak pikiran yang mampir di kepala ayah. Hutang yang numpuk, dagangan songkok yang kadang sepi pembeli, keinginan bisa punya rumah yang lebih layak. Semua itu mampir berjejer seperti antrian. Tapi anehnya, begitu lihat wajah kalian—Pouri dan Adam—pikiran itu kayak mengecil. Ayah merasa, “Ya sudahlah, yang penting anak-anakku tetap bisa senyum.”
Kopi itu pahit. Tapi dari pahitnya kopi, ayah belajar bahwa hidup juga begitu. Kadang pahit, kadang bikin dada sesak. Tapi justru pahit itulah yang bikin mata melek, bikin hati belajar sabar. Ayah sering bilang dalam hati: “Kalau ayah dulu sering males, sering nggak disiplin, semoga anak-anak ayah nggak ikut-ikutan. Biar pahitnya berhenti di ayah saja, jangan sampai ikut ke Pouri.”
Kadang ayah membayangkan, kalau Pouri sudah besar nanti, mungkin kamu akan minum kopi juga. Tapi ayah berharap bukan sekadar minum, melainkan bisa mengingat cerita ini: bahwa kopi pertama ayah di pagi hari bukan cuma soal minuman. Itu tanda bahwa ayah sedang mempersiapkan diri untuk berjuang, supaya anak-anaknya lebih baik.
Ayah tahu, ayah bukan orang yang paling rajin ibadah. Masih sering bolong, masih sering kalah sama malas. Tapi ayah berharap Pouri bisa lebih rajin, lebih dekat sama Allah. Karena ayah percaya, apa yang ayah tanam sekarang, entah dengan cerita, entah dengan kesalahan, akan jadi pelajaran untuk anak-anak.
Dan di ujung pagi itu, ketika gelas tinggal ampas, ayah sering menatap rumah kecil kita—dinding tipis, lantai semen dingin, suara anak-anak yang kadang ribut. Sederhana sekali. Tapi justru di situlah ayah merasa kaya. Kaya karena ada Pouri, ada Adam, ada ibu kalian yang setiap pagi berangkat kerja meski capek.
Jadi, Nak… kalau nanti kamu ingat ayah dengan kopinya, jangan hanya ingat pahitnya. Ingat juga bahwa setiap tegukan itu adalah doa supaya kamu bisa lebih hebat dari ayah, lebih pintar, lebih jujur, lebih dekat sama Tuhan.
“Semoga kamu jadi anak yang jauh lebih baik,” bisik ayah pelan, sambil menatap ke arah kamar tempat Pouri masih bergelung di kasur.
-----------------------
Anak-Anak yang Suka Ganggu Ayah Ngopi (Versi Panjang)
Kopi ayah itu nggak pernah bisa dinikmati dengan tenang. Baru satu-dua teguk, sudah ada “serangan mendadak.”
Pertama biasanya Adam. Bocah empat tahun itu entah kenapa punya radar ajaib: begitu ayah mulai duduk dengan kopi, dia langsung datang. Kadang masih pakai kaos oblong kebesaran, kadang cuma celana pendek, rambutnya kayak disikat ayam. Dengan wajah belekan manisnya, dia dorong mobil-mobilan plastik ke kaki ayah.
Brummm! Mobil nabrak betis ayah. Kopi bergetar.
“Adam!” ayah kaget. “Kopiku hampir tumpah, lho.”
Tapi Adam malah ngakak, “Hahaha, ayah kena tabrak!”
Belum sempat ayah balas godain Adam, sudah muncul suara pintu kamar dibuka pelan.
Creek…
Keluar Pouri, masih ngucek mata, rambutnya awut-awutan, gorden nempel di baju.
“Yaaah, aku ngantuk…” suaranya lemah, lalu nyelonong ke kursi sebelah ayah. Dia tiduran, setengah badan masih menggantung, bikin ayah deg-degan takut jatuh.
Ayah geleng-geleng kepala, “Lho, belum apa-apa, ayah sudah punya dua bocah menyerang dari kanan dan kiri.”
Kadang, Pouri iseng ambil sendok pengaduk kopi dari tangan ayah. Dia puter-puter di gelas, bikin bunyi kring… kring… kring… panjang.
“Pouri, itu sendok buat kopi ayah, bukan buat main musik.”
Tapi kamu jawab, “Aku bikin konser, Yah! Adam, ayo joget!”
Adam langsung lompat-lompat sambil teriak-teriak, “Aku mobil balap, brummm!”
Ayah akhirnya pasrah. Kopi panas di tangan jadi lebih berbahaya daripada mainan kalian. Akhirnya ayah taruh gelas di meja. “Sudahlah, kalah lagi aku sama kalian.”
Kadang yang bikin tambah ribet, Adam nyolek gelas kopi.
“Ini apa, Yah?”
“Kopi, jangan diminum, pahit.”
Adam ngotot, “Aku mau coba!”
Sebelum tumpah, ayah buru-buru geser gelas.
“Eh, ini bukan Milo, Nak. Pahit, pahit banget. Nanti kamu muntah.”
Adam manyun, “Tapi aku kan udah gede.”
Pouri ikut nimbrung, “Kalau gitu aku aja yang coba, Yah.”
Ayah langsung melotot, “Kamu juga jangan! Nanti malah nggak mau gosok gigi, pahitnya nempel.”
Dan biasanya kalian berdua langsung ngakak bareng, saling dorong, bikin kursi bergetar. Sementara kopi ayah? Jadi penonton setia.
Tapi anehnya, meski kopi sering gagal habis tepat waktu, ayah nggak pernah benar-benar marah. Karena justru itu yang bikin pagi ayah hidup. Kalau kopi diminum sendirian, rasanya cuma pahit. Tapi kalau diminum sambil dikerubungi Adam dengan mobil-mobilannya dan Pouri dengan konser sendoknya, pahitnya hilang, diganti hangat.
Dalam hati ayah suka bergumam, “Anak-anak ini memang suka bikin kopi tumpah, tapi sekaligus bikin semangat ayah nggak tumpah.”
--------------------
Kak, tahu nggak? Setiap pagi ayah minum kopi, ayah nggak cuma mikirin rasa pahitnya. Ayah juga mikirin kesalahan-kesalahan ayah dulu: ayah sering males, sering nggak disiplin, sering kalah sama rasa malas ibadah.
Ayah nggak mau itu semua ikut nempel ke Kakak. Biar pahitnya cukup ayah yang ngerasain, supaya Kakak bisa tumbuh lebih manis, lebih kuat.
Kalau ayah kadang telat shalat, semoga Kakak bisa rajin dari kecil. Kalau ayah kadang males belajar, semoga Kakak semangat terus belajar. Kalau ayah sering bingung ngatur uang, semoga Kakak lebih pintar mengatur rezeki.
Kopi ini jadi pengingat, bahwa ayah mungkin nggak sempurna. Tapi justru karena itu, ayah ingin Kakak bisa lebih baik, lebih lurus jalannya.
Jadi kalau nanti Kakak ingat ayah dengan kopinya, ingatlah juga bahwa setiap tegukan kopi itu doa. Doa supaya Kakak nggak jatuh di lubang yang sama kayak ayah. Doa supaya Kakak bisa jadi anak yang rajin, sabar, pintar, dan dekat sama Allah—lebih baik dari ayah dalam segala hal.
==============